Saat jam istirahat
berlangsung. Aku tidak bersama Vina. Aku sengaja ingin pergi ke taman di
belakang sekolah untuk menyendiri. Sejenak aku mengingat papa. Papa yang selama
ini menafkahiku. Memberikanku segala apa yang aku inginkan. Tapi saat ini, dia
sudah tenang disana. Dia sudah berada di Sisi-Nya. Tuhan, bolehkah aku
berpesan? Walaupun pesanku mungkin tak bisa tertuliskan. Walaupun tak ada
setitik tintapun di dalam kertas ini. Biarkan aku menulis pesan ini dengan
tetesan air mata. Dengan segala kerinduanku padanya. Aku merindukan dekapnya.
Tuhan, ini pesanku.
Pesan yang tak bisa kutuliskan dengan tinta
Tuhan, apakah dia mendengarkanku?
Apakah dia merindukanku Tuhan?
Apakah dia bisa melihatku dengan air mataku ini?
Apakah dia tahu Tuhan?
Mungkin hanya kehendakMulah yang bisa
Bisa membuat yang semula angan bisa menjadi nyata.
Yang semula semu, bisa menjadi nyata pula.
Tuhan, semoga Engkau tau apa maksudku.
Tau apa rasaku. Sampaikan sejuta cintaku padanya.
Sampaikan kecupan sayangku padanya.
Aku benar-benar merasakan hal yang tak pernah ada dalam hidupku
Hampa, sunyi, sendiri, sepi.
Itulah aku saat ini Tuhan.
teman sejatiku hanyalah air mata.
Hanya sesimpul senyum papa yang membuatku tertahan.
Tuhan, apakah dia mendengarkanku?
Apakah dia merindukanku Tuhan?
Apakah dia bisa melihatku dengan air mataku ini?
Apakah dia tahu Tuhan?
Mungkin hanya kehendakMulah yang bisa
Bisa membuat yang semula angan bisa menjadi nyata.
Yang semula semu, bisa menjadi nyata pula.
Tuhan, semoga Engkau tau apa maksudku.
Tau apa rasaku. Sampaikan sejuta cintaku padanya.
Sampaikan kecupan sayangku padanya.
Aku benar-benar merasakan hal yang tak pernah ada dalam hidupku
Hampa, sunyi, sendiri, sepi.
Itulah aku saat ini Tuhan.
teman sejatiku hanyalah air mata.
Hanya sesimpul senyum papa yang membuatku tertahan.
“tidak ada yang nyata di dunia ini. Semua hanyalah semu
belaka. Tak ada yang abadi di dunia ini. Hanyalah murka yang mewarnainya.
Hapuslah air matamu itu. Semua hanya terbuang percuma hanya menangisi jengkal
hidup yang kejam ini. Kamu tak akan pernah tau berapa kali langkah kakimu
menapaki dunia yang penuh dengan keegoisan ini. Dunia semurka ini tak pantas
untuk di tetesi setetes ait mata yang jatuh di tanah yang sudah membuatmu
sakit, tertatih, dan lumpuh.”
Seseorang tiba-tiba
datang dari tempat yang tidak ku duga.
“hah! Siapa kamu? Ah kamu. Kamu Hendra kan? yang tadi
menabrakku di bus. Kamu cowok rese tadi itu kan?
“jangan panggil aku cowok rese. Maaf soal yang tadi. Aku
memang tergesa-gesa, jadi aku tidak tau kalau aku menabrakmu. Oh ya, nama kamu
siapa?”
“okelah, it’s okay.
Namaku Stevania Sheerin Veronica Rischavionide. Kamu bisa panggil Sheerin. Kamu
ngapain ke sini juga?”
“nama yang bagus. Aku hanya iseng kemari. Aku ingin tau
di belakang sekolah. Tempatnya asik juga ya. Mulai sekarang kita berteman baik
kan?”
“oke, kita berteman.”
Sejak saat itu,
hubunganku dengan Hendra sangatlah baik. Kemanapun kamipun selalu bersama.
Setiap jam istirahat kami selalu pergi ke taman di belakang gedung sekolah.
Kami bercerita tentang kehidupan kita masing-masing. Saling berbagi cerita.
Hingga suatu hari Hendra mengatakan hal yang membuatku tersentak, bingung,
resah, gelisah, dan galau. Hendra
mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Aku tak tau harus berkata apa kepadanya.
Dia menggenggam erat tanganku. Aku membutuhkan waktu untuk menjawab hal itu.
Hingga saatnya tiba.
“Rin, bagaimana dengan jawabannya? Apakah kamu
menerimanya atau menolaknya?”
“aku tak bisa mengatakan iya kepadamu. Karena aku takut
membuatmu kecewa karena aku tidak bisa membuatmu bahagia. Seandainya aku bisa
menjadi sebuah buku yang mungkin bisa membuat setiap orang menjadi lebih
nyaman. Namun aku tidak bisa. Tapi, aku mau menerimamu karena aku mencintaimu
dengan caraku yang sederhana. Mencintai dengan setiap lilin yang tetap menyala
pada sudut gelap nan sunyi. Aku mau”
“jadi kamu menerimaku?”
“aku mencintaimu dengan caraku yang sederhana”
“terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan hembusan
angin tenang kedalam jiwa ini”
bersambung....