“Sheerin,
papa mau pulang. Shareen minta oleh-oleh apa? Nanti papa belikan deh.” Suara
papa di seberang sana.
“hmmm,
apa ya? Shareen mau duren dong pa. udah
lama ni Shareen ga makan duren bareng mama papa, beli’in ya? Ya? Papa kan baik,
hehe.” Candaku.
“Mmmm,
oke, oke. Nanti papa beli’in durian montong deh. Tunggu papa di rumah ya. Jaga
mama baik-baik.”
“Beres
deh pa. selama mama sama aku pasti baik-baik aja.”
“Ya
sudah. Udah dulu ya Shareen. Assalamu’alaikum.”
“Oke
pa, wa’alaikumsalam”
Papa menutup
teleponnya. Tidak ada perasaan aneh yang aku rasakan sebelum kejadian itu. Aku
dan mama asik menonton televise di ruang keluarga. Tiba-tiba ada suara telepon
rumahku berbunyi. Mama bergegas mengangkatnya.
“Apa?
Ini tidak mungkin? Tidak mungkin seperti itu. Bagaimana kejadiannya bisa
seperti itu? Sekarang ada dimana? Iya, iya. Saya segera kesana!” ucap mama
dengan nada khawatir.
“Ma,
ada apa ma? Mama kok wajahnya khawatir seperti itu?”
“Papa
rin, papa kecelakaan di jalan waktu perjalanan pulang. Barusan mama di telepon sama
saksi mata setempat. Ayo kita susulin papa. Semoga papa tidak apa-apa.”
Aku dan mama segera
menyusul papa di tempat kecelakaan. Papa segera di larikan ke rumah sakit. Papa
cukup mengalami banyak pendarahan di kepalanya. Aku tidak tidak tau harus
berbuat apalagi. Aku belum siap untuk kehilangan papa. Papa adalah seorang
pahlawan dalam hidupku. Dia adalah matahariku. Dan mama adalah angin
sepoi-sepoi yang bisa menyejukkan hatiku. Setelah dokter menangani papa. Dokter
menghampiriku dan mama.
“bagaimana dok keadaan suami saya?” tanya mama dengan
panik.
“ Maaf bu, tim kami sudah berusaha semaksimal mungkin
untuk bisa menangani pendarahan di kepala pak Deni. Namun, Pak Deni sudah
kehabisan darah. Nyawanya tidak tertolong. Maafkan kami. Kami sudah berusaha.
Tuhan berkehendak lagi. Kami turut berduka cita” ucap dokter.
“dokter hanya bercanda kan dok? Suami saya tidak mungkin
meninggal dunia. Coba dokter periksa kembali. Mungkin dokter salah. Periksa
lagi dok. Suami saya masih baik-baik saja dok. Dia sudah menjanjikan buah
durian kepada anak saya dok. Dokter jangan mengada-ada!”
“kami turut berduka bu. Kami sudah berusaha semaksimal
mungkin bu. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk pak Deni. Namun nyawanya
sudah tidak tertolong lagi. Ibu yang tabah ya bu. Kami berbela sungkawa”
“dokter, dokter tidak salah memeriksa? Papa saya masih
hidup dokter. Dokter jangan sok tau dok. Bisa-bisa dokter saya tuntut ke
pengadilan dengan pencemaran nama baik dok. Dokter, jujur sama saya? Papa saya
tidak apa-apa kan dok?” paksaku kepada dokter.
“ maaf dik. Saya sudah jujur. Papa adik sudah tiada. Kami
permisi dulu”
Aku dengan mama segera
ke ke ruangan papa. Secepat ini Tuhan memanggilnya. Secepat ini Tuhan mencabut
nyawanya. Aku tidak siap dengan semua ini. Hidup tanpa ada seorang pahlawna
lagi di hidupku. Aku begitu mencintainya Tuhan. Mengapa secepat ini waktu
berlalu meninggalkan kenangan bersama papa. Aku merindukan dekapnya. Aku belum
meminta maaf kepadanya Tuhan. Kembalikan papa pada pelukku kembali Tuhan.
Sungguh aku tak sanggup tanpanya Tuhan. Aku tidak kuat dengan semua ini. Papa
selamat tinggal papa.
Air mataku pun sudah membasahi pipiku. Dan tiba-ba aku
teringat waktu.
“sudah jam berapa ini?” dengan melihat jam beker di meja.
“hah! Jam tujuh kurang seperempat menit? Oh Tuhan!
Bisa-bisa aku terlambat”
Aku segera berlari ke
kamar mandi. Setelah mandi dan berganti seragam sekolah. Aku berlari ke halte.
Menunggu bus. Bus pun datang. Aku segera naik. Dan alhasil, bus didalam
sangatlah ramai. Aku harus berdesakan dengan penumpang lainnya. Tiba-tiba ada
anak cowok yang memakai seragam SMA yang sama dengan ku menabrakku dengan keras
hingga tulang pundakku terasa sakit.
“eh loe. Kalo jalan punya mata ga sih? Nabrak orang
sembarangan. Jalan tuh dengkul yang di pake. Sakit tau ga!”
“eh, ya elo tuh, udah tau ada orang lewat ga di kasih
jalan. Emang ini bus punya nenek moyang loe gitu! Udah! Gue ga ada waktu buat
ngurusin cewek kayak loe” ucap cowok itu lalu berjalan ke belakang.
“dasar cowok rese’. Nyebelin banget jadi orang. Amit-amit
aku ketemu cowok itu lagi. Tapi, seragamnya kan mirip sama aku. Jangan-jangan
dia satu sekolah lagi sama aku. Ih, nyebelin banget.!” Gerutuku di dalam hati.
Sesampainya di sekolah. Aku berlari sekencang-kencang
agar bisa sampai di dalam sebelum bel masuk berbunyi. Dan hasilnya. Aku sampai
di kelas tepat saat bel masuk berbunyi.
“elo dari mana sih? Jam segini baru nyampe di kelas.
Karet banget sih.” Celoteh Vina.
“eh biasa aja dong! Ga pake nyolot kali. Gue tuh
bangunnya kesiangan. Salah, tadi gue ketemu cowok rese yang ga pernah gue
temuin sebelumnya”
“emang siapa? Ganteng gat uh cowok?”
“kepo banget sih loe. Sama cowok aja mata loe langsung
melek tuh. Cowok itu gue ketemunya di
bus. Dia main tabrak-tabrak gue aja. Pundak gue jadi korbannya. Sakit banget.
Dia sih putih, tinggi. Tapi, ya itu tuh. Rese banget!”
“eh,
eh. Pak Robert datang. Sssttt! Ssst!”
Pak Robert memasuki
kelas bersama seorang cowok. Mungkin dia adalah murid baru di sekolahku ini.
Tapi, sepertinya aku kenal sama cowok itu. Oh tidak! Itu kan cowok yang tadi
menabrakku di bus.
“kenalkan anak-anak. Ini ada siswa baru pindahan dari
Australia. Silahkan perkenalkan diri kamu” ucap pak Robert kepada cowok itu.
“terimakasih pak. Oke. Perkenalkan nama saya Steven
Hendra Dinata. Kalian bisa panggil Hendra. Saya pindahan dari Australia.”
“silahkan duduk Hendra.”
“iya, terimakasih pak!”
Aku tersentak saat
mengetahui dia yang bernama Hendra itu kini satu kelas denganku. Mengapa hari
ini begitu menyebalkan bagiku.
“eh Rin, ganteng banget ya tuh cowok baru. Gue jatuh
cinta deh” ucap Vina dengan memandangi Hendra.
“hah! Apa kata loe? Ganteng? Mata loe masih normal kan?
cowok kayak gitu ganteng? Cowok itu tadi yang gue cerita’in nabrak gue di bus
Vin”
“berarti kalian jodoh dong?”
“Iuuhh, amit-amit deh!”
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar